BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
istilah Hadits
dan Sunnah sudah sering dipakai dalam masyarakat muslim. Pada umumnya
kebanyakan dari mereka mengartikan hadits dan sunnah adalah sama yaitu sebagai
sumber hukum islam setelah Al-Qur’an. Namun sesungguhnya hadits dan sunnah
masing-masing memiliki pengertian yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat belum memahami secara utuh tentang pengertian antara hadits dan
sunnah beserta perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya. Para ulama dari
masing-masing disiplin ilmu juga memperdebatkan perbedaan antar hadits dengan
sunnah ini. Tetapi ada pula ulama yang mempersamakan antara hadits dan sunnah.
Dengan demikian, dengan adanya makalah ini diharapkan masyarakat pembaca dapat
mengerti tentang perbedaan antara hadits dan sunnah dari berbagai sudut pandang
para ulama dari berbagai disiplin ilmu.
Selain
itu, masyarakat telah banyak berpikir rasional tentang keeksisan Nabi Muhammad
SAW. Masyarakat bertanya-tanya apakah Nabi Muhammad itu manusia biasa seperti
manusia saat ini, bilamana Nabi Muhammad SAW berperan sebagai Rasulullah dan
sebagai manusia biasa. Maka dengan adanya realita ini, penulis mencoba untuk
memaparkan bilamana Nabi Muhammad berperan sebagai Rasulullah dan berperan
sebagai manusia biasa yang dikaji menurut Al-Qur’an dan Hadits.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian
Hadits berdasarkan maisng-masing sudut pandang para ulama dari berbagai
disiplin ilmu?
2.
Apa pengertian
Sunnah berdasarkan masing-masing sudut pandang para ulama dari berbagai
disiplin ilmu?
3.
Apa perbedaan
yang ditimbulkan antara hadits dan Sunnah menurut para ulama dari berbagai
disiplin ilmu?
4.
Bagaimana pula
sudut pandang dari para ulama yang menyebut bahwa Hadits dan Sunnah adalah
sama?
5.
Bilamana Nabi
Muhammad SAW berperan sebagai Rasulullah SAW beserta dalil-dalilnya?
6.
Bilamana juga
Nabi Muhammad SAW berperan sebagai manusia biasa beserta dalil-dalilnya?
C. TUJUAN PENULISAN
Penyusunan makalah ini
bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat tentang perbedaan antara hadits
dan sunnah dari sudut pandang para ulama dari berbagai disiplin ilmu maupun
sudut pandang dari para ulama yang menyebutkan bahwa di antara keduanya adalah
sama. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan untuk mengenalkan kepada
para pembaca kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah dan sebagai manusia
biasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADITS
Kata Hadits merupakan
isim (kata benda) yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan,
percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan. Bentuk jamak dari hadits
adalah al-ahadits. Masyarakat Arab di zaman jahiliyah telah menggunakan
kata hadits ini dengan makna “pembicaraan”.
Pengertian hadits
menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan kata
dari qadim (sesuatu yang lama). Dalam hal ini dimaksudkan bahwa qadim sebagai
kitab Allah, sedangkan yang “baru” adalah apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Dalam Syarah al-Bukhari, Syaikh Islam Ibnu Hajar berkata yang
dimaksudkan denganhadits menurut pengertian syara’ adalah apa yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan Al-Qur’an
adalah Qadim.
Hadits juga sering
disebut sebagai Al-Khabar (berita) yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Berdasarkan tinjauan dari sudut
pendekatan kebahasaan, kata hadits dipergunakan dalam Al-Qur’an dan hadits itu
sendiri[1].
Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-Kahfi ayat 6 yang berbunyi:
فَلَعَلَّكَ
بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلَى آثَارِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفاً
﴿٦﴾
“Maka
(apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah
mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al
Qur'an).”
Sedangkan dalam pengertian hadits secara terminologis
terdapat perbedaan pendapat antara ahli hadits dan ahli ushul.
Menurut
para ahli hadits, hadits ialah:
اَقْوَالُ النبي ص م وافعالهُ
وَاَحْوَا لُهُ
Artinya: “Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan
hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal
ihwal ialah segala yang diriwayatkan Nabi muhammad SAW yang berkaitan
dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan.
Pengertian hadits lainnya menurut ahli hadits ialah:
مَاأُضِيْفَ إلى النبي
ص م قَولاً أو فِعْلاً أوْتَقْرِيْرًا اَوْ صِفَةً
Artinya: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”.
Sebagian Muhaditsin
berpendapat bahwa pengertian hadits di atas merupakan pengertian yang sempit.
Menurut mereka, hadits mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak
terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW (Hadits Marfu’)
saja, tetapi juga yang disandarkan kepada para sahabat (Hadits Mauquf),
dan juga yang disandarkan kepada para Tabi’in (Hadits Maqtu’). Hal ini
sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Al-Tirmisi:
“Bahwasanya hadits itu bukan hanya untuk
sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,
melainkan bisa juga untuk sesuatu yang Mauquf, yaitu yang disandarkan kepada
para sahabat, dan yang maqtu’, yaitu yang disandarkan kepada para Tabi’in.”
Sedangkan menurut para
ulama Ushul, hadits menurut terminologis ialah:
أَقْوَا
لُهُ واَفْعَا لُهُ وتََقْرِِيْرَاتُهُ التى تَثْبُتُ الأََ حْكاَمُ و
تُقَرَِّرُهاَ
Artinya: “Segala perkataan Nabi Muhammad SAW,
perbuatan, taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.”
Berdasarkan pengertian
hadits menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadits adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, maupun
ketetapan yang berhubungan dnegan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang
disyariatkan kepada manusia. Sealain itu, tidak bisa dikatakan sebagai hadits.
Hal ini mengisyaratkan bahw apara ahli ushul telah membedakan peran Nabi
Muhammad sebagai Rasulullah dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan sebagai
hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban
oleh Nabi Muhammad SAW yang berupa ucapan, perbuatan, dan
ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan seperti cara berpakaian
dan cara tidur tidak dapat dikategorikan sebagai hadits.
B. PENGERTIAN SUNNAH
Menurut bahasa, “sunnah”
mempunyai arti jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelek. Bisa juga
diartikan dengan “jalan yang lurus”. Menurut M.T. Hasbi Ash-Shiddieqy,
penmgertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan
yang dijalani baik yang trepuji maupun yang tidak. Hal ini sesuai dengan
tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah walapun tidak baik. Pengertian
sunnah menurut sabda Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:
“Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik,
maka baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga
hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka
atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga
hari kiamat” (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).”
Sedangkan pengertian sunnah menurut istilah (terminologis)
terdapat perbedaan pendapat antar para ulama. Perbedaan pendapat ini disebabkan
oleh perbedaan latar belakang, persepsi, dan sudut pandang mereka masing-masing
terhadap diri Rasulullah SAW. Para ulama ini secara garis besar terbagi menjadi
3 golongan yaitu Ahli hadits, Ahli Ushul, dan Ahli Fiqih.
a.
Pengertian
sunnah menurut ahli hadits yaitu:
ما اثِرَ عنِ النبى ص م مِن قولٍ أو فعل أو
تقرير أو صفة أو خَلْقِيّةٍ أوسِيَرَةٍ،سواء كان قبل البِعْثَةِ أو بعده
Artinya: “Segala yang bersumber
dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkatan, perbuatan, taqrir (ketetapan),
tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya baik sebelum diangkat menjadi
Rasul maupun sesudah diangkat menjadi Rasul.”
Berdasarkan
definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut Muhadditsin
adalah sama dengan kata hadits. Para Muhadditsin memandang diri Rasul
SAW sebagai Uswatun Hasanah atau qudwah (contoh atau suri tauladan) yang
paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Oleh karena itu, mereka menerima
dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul
SAW tanpa membedakan apakah isinya berkaitan dengan hukum syara’ atau tidak.
Mereka juga tidak membedakan ucapan atau perbuatan yang dilakukan sebelum
diangkat menjadi Rasul dan sesudah diangkat menjadi Rasul. Hal ini berarti Ahli
Hadits mendefinisikan bahwa cakupan sunnah lebih luas dibandingkan dengan
hadits.
b.
Pengertian sunnah menurut Ahli Ushul adalah:
Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang berhubungan dengan hukum syara’, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir).
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat ditarik definisi sunnah menurut Ahli
Ushul yaitu:
“segala sesuatu yang bersumber dari
Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur’anul Karim, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi hukum syara.” Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
makna inilah yang diberikan kepada perkataan sunnah dalam sabda Nabi sebagai
berikut:
“Sungguh telah saya tinggalkan
untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya,
yakni Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.” (HR.Malik)
Latar
belakang para Ahli Ushul dalam mendefinisikan sunnah yaitu bahwa Rasulullah SAW
adalh penentu atau pengatur undang-undang yang menerangkan kepada manusia
tentang aturan-aturan kehidupan (dustur al-hayat) dan meletakkan dasar-dasar
metodologis atau kaidah-kaidah bagi para mujtahid yang hidup sesudahnya dalam
menjelaskan dan menggali syariat islam. Sehingga segala sesuatu tentang Rasul
yang tidak mengandung hukum syara’ tidak dapat disebut sebagai sunnah.[2]
Sudut pandang seperti ini berdasarkan QS. Al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
مَّا
أَفَاء اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً
بَيْنَ الْأَغْنِيَاء مِنكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
Artinya:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang
berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
c.
Pengertian sunnah menurut Ahli Fiqih
“Segala ketetapan yang berasal dari
Nabi Muhammad SAW selain yang difardlukan dan diwajibkan dan termasuk hukum
(taklifi) yang lima.”
Para
Fuqoha[3]
apabila mereka berkata perkara ini sunnah, maksudnya mereka memandang bahwa
pekerjaan itu mempunyai nilai syariat yang dibebankan oleh Allah SWT kepada
setiap orang yang baligh dan berakal dengan tuntutan yang tidak mesti. Dengan
kata lain, tuntutan tersebut tidak fardlu dan tidak wajib.
Dalam hal
ini dimaksudkan sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila
dikerjakan dan tidak dituntut (tidak berdosa) apabila ditinggalkan. Menurut
Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa sunnah
ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW secara
kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya, sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan
Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua, atau tiga perawi dan tidak ada yang
mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
Menurut
Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan
dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan
menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara
aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya
dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif
dari masyarakat tersebut.
Menurut
Ajjaj al-Khathib, bila kata sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum
syara’, maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini ialah segala sesuatu yang
diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW baik beruipa
perkataan maupun perbuatan. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah maka
yang dimaksudkannya adalah Al-Qur’an dan Hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar